Jumat, 01 Mei 2015

UNTUK, MAS DIPANEGARA, PENGAMAT SELEBTIFIS




  
Menjawab surat terbuka dari Mas Asnawigana Dipanegara, yang berjudul “Satu Lagi Kebebalan Selebritis” (surat terbuka untuk Man Angga Nosstress) Bisa dibaca disini https://agdipanegara.wordpress.com/

Mas Dipanegara. Sebelumnya saya sangat berterimakasih atas surat terbuka berupa kritik yang Mas kirim, sebagai respon atas tulisan saya. Baru pertama kali lho saya mendapatkan surat terbuka. Rasanya seru-seru gimana gitu. Saya merasa diperhatikan dengan sangat serius. Selain itu, kritik ini dapat memberikan contoh bagi semua orang terutama kawula muda untuk membangkitkan budaya dialog yang kritis. Mengingat saat ini keterampilan dialog sering digantikan dengan keterampilan menggunakan otot. Dan bagi saya pribadi, kritik juga merupakan obat agar tidak hanyut pada puja-puji yang membuat terlena dan terlupa. Terimakasih ya. *toss*

Saya juga akan mencoba dengan pelan namun tidak terbata-bata untuk menjawab kritik dari Mas Dipanegara. Saya kagum dengan Mas yang mengaku terbata-bata menerjemahkan bahasa Bali saya. Padahal bagi saya itu tidak nampak terbata-bata samasekali, Mas. Meskipun Mas mungkin dari Yogyakarta, setidaknya begitu yang tercantum pada wordpress Anda, tapi kemampuan Mas menerjemahkan bahasa Bali saya sungguh mumpuni. Sungguh rendah hati sekali lo Mas Dipanegara ini :).

Namun, Mas Dipanegara. Sebelum saya menjawab kritik Mas kepada saya, ijinkan saya mengkritik diri saya sendiri, atau lebih tepatnya mengkritik tulisan saya yang Anda respon. (Bisa dibaca disini http://manangga3.blogspot.nl/2015/03/biarlah-yang-abu-abu-hanya-monyet.html) Ketika menulis, saya sangat bersemangat, terlalu tergesa-gesa, hingga mungkin ada yang kurang dari tulisan saya, dan tidak lengkap dalam menggambarkan isi hati saya. Golput yang saya kritik adalah: orang yang sengaja golput, kemudian kerjaannya hanya nyinyir. Tidak berusaha mengorganisir diri untuk melakukan suatu pergerakan, bahkan tidak mau menjadi bagian dari sebuah pergerakan. Hanya menonton, dan berkomentar. Memilih golput untuk tidak menerima risiko apa-apa. 

Sama sekali tak ada bermaksud mengkritik masyarakat adat tak ber-KTP atau terpencil karena dikucilkan penguasa. Yang saya kritik adalah kelompok golput nyinyir yang malas beroganisasi bersama rakyat untuk melawan kerakusan. Golput yang hobinya nyinyir saja

Nah, sekarang saya siap menjawab. Pertama ijinkan saya merespon mengenai selebtifis. Hihi. Lucu ini, Mas. Bayangkan kalau seorang tester produk kosmetik juga merangkap sebagai aktifis, dia akan Anda sebut seorang testifis? Mahasiswa aktifis maka dia disebut mahatifis? Pengusaha aktifis maka dia disebut pengutifis? Tukang tattoo sebagai aktifis maka disebut tattotifis? Hihi. Mas Dipanegara, saya tidak keberatan disebut sebagai selebritis, atau aktifis, atau yang mas sebut selebtifis. Tapi Ketika berbicara mengenai perjuangan lingkungan, seperti yang saya lakukan dengan kawan-kawan di Bali untuk Menolak reklamasi Teluk Benoa, saya bukanlah menempatkan diri sebagai selebritis, ataupun aktifis. Saya adalah bagian dari masyarakat yang memang punya kewajiban untuk membela lingkungan, terlebih itu adalah lingkungan tempat saya hidup. Membela lingkungan itu terlepas dari profesi yang saya tekuni. Sama dengan yang dilakukan kawan-kawan. Mereka berjuang bukan karena mereka mahasiswa, bukan karena mereka pengusaha, bukan juga karena mereka aktifis. Tapi mereka memang adalah penduduk yang mempunyai kewajiban membela tempat tinggal mereka. 

Perjuangan membela lingkungan ini tidak bisa dikotak-kotakkan dalam profesi, Mas. Mas sendiri yang bilang pikiran mengkotak-kotakkan itu adalah pola pikir politisi, kan? Hehe. Jangan-jangan Mas yang siap mencalonkan diri menjadi wakil rakyat dari partai golput? Hihi. Maaf, Mas. Bercanda lho ini, jangan marah ya. Saya gemar bercanda :).

Curhat dikit ya, Mas. Saya sedikit gimana gitu kalo dengar orang dengan cepat mencap seseorang yang memperjuangkan keadilan dengan label aktifis. Berjuang untuk menegakkan keadilan itu bukanlah hanya tugas dan kewajiban seorang aktifis, tapi tugas seluruh manusia kan, Mas? Menurut Masnya gimana? Artinya kalo dia bukan aktifis, dia bebas enggak peduli sama keadilan terhadap manusia maupun lingkungan? Wah, pemikiran yang ga boleh dibudayakan ini. Hehe. Mas juga seandainya adalah seorang dosen atau seorang mahasiswa, atau profesi lain, bukan berarti tidak memiliki kewajiban membela keadilan, kan? Hehe. 

Lanjut. Sebenarnya ya, Mas, ketika Mas menulis surat terbuka pada saya ini, dan melayangkannya kepada Man Angga Nosstress, itu juga agak gimana gitu, Mas. Ya saya sih gapapa. Tapi kalo Nosstress itu bukan saya aja. Ada tiga orang. Kalo saya ya Man Angga doang. Dan yang nulis juga saya sendiri aja, Mas. Jadi kasian kalo si Nosstress juga disrempet.  Kalo mas mengkritik Man Angga sebagai seorang individu pemilik blog Manangga3.blogspot.com itu lebih tepat. Bukan seleb atau tifis. Karena tulisan saya yang Mas kritik tidak ada sangkut pautnya dengan profesi saya. Beda lagi kalo Mas mengkritik saya dalam karya saya sebagai Nosstress. Atau seandainya saya bukan anggota Nosstress, dan bukan kawan dari Jrx, mungkin Mas tidak akan mengritik tulisan saya kali ya? Hihi. Tapi mungkin kalo Mas enggak sambung-sambung dan cari kaitannya kemana-mana gitu pasti jadi ga seru ya, Mas? Seperti mengkritik Jrx dengan memulainya dari Ahmad Dhani kemudian menghubungkannya dengan Vicky Prasetyo. Hihi. Ya terserah Mas sih. Saya hormati hak dan pemikiran mas sebagai penulis. 

Tapi saya ga mau ikut-ikutan bilang orang bebal ah. Kasian kan, padahal cuman keliru dalam hal tertentu, langsung dicap sebagai orang bebal. Itu seperti berusaha mencari satu keburukannya untuk kemudian mengaburkan banyak kebaikan yang dia punya. Hehe. Saya ga bilang saya marah waktu Mas bilang saya bebal lho. Saya santai, Mas. Temen-temen saya sering bilang saya macem-macem. Saya santai aja, Mas. Hehe. Saya juga ga bilang bahwa saya punya beribu kebaikan lho, Mas. Itu orang lain yang akan menilai. Yang jelas apa yang orang katakan tentang kita kan bukanlah sebuah kebenaran mutlak kan, Mas? Mungkin benar, tapi kemungkinan tidak benar juga sama tingginya. Jadi jangan percaya dulu sama media sosial, Mas. Coba deh Mas ketemu dulu sama saya, ngobrol-ngobrol gitu. Kan asik. Atau kita udah pernah ketemu? Hihi. Mungkin belum ya. Tapi Mas kok tau betul tongkrongan saya ya? Hahaha. Maaf-maaf. Saya ngelantur.

Lanjut lagi. Kali ini Mas Dipanegara mengomentari selebritis, merchandise, promosi, memoles diri  agar menjadi pusat perhatian dan kemampuan intelektualitas. Mas Dipanegara. Semoga pemikiran Mas tentang selebritis belum diracuni oleh acara gosip di televisi. Karena saya merasa Mas ada sensitifitas tentang selebritis, apalagi selebritis yang juga sebagai aktifis, atau hanya pada Jrx dan saya karena kami dalam sebuah panji perjuangan yang sama? Ah maaf nih kalo salah, Mas. Saya suka cepet GR. Hihi.

Televisi memang sukses menampilkan selebriti sebagai insan yang hidup dalam hingar bingar, sensasi, dan bergelimang materi. Tapi coba Mas cari di buku tentang arti kata selebritis. Atau cari di internet, juga ada KBBI kok sekarang. Pengertian selebritis adalah orang yang terkenal atau masyhur. Disebut selebritis karena masyhur di bidang seni. Atau bahasa kerennya adalah artis. Pelaku seni. Saya tidak menampik bahwa saya terkadang menjadi pusat perhatian dalam kesempatan tertentu. Tapi tidak selalu, Mas. Hanya terkadang ada banyak orang yang mengenali saya. Namun, Mas Dipanegara, perhatian itu tidak saya peroleh karena saya gemar bersolek atau yang Mas sebut dengan memoles diri. Saya bersyukur memperoleh perhatian ini dengan karya saya di bidang musik, Mas. Dan itu juga tidak mudah. Banyak hal yang harus saya lalui dan banyak hal juga yang harus saya korbankan untuk meraihnya. Itu juga berkat bantuan banyak kawan. Dan itu tidak semudah seperti yang Mas sebut dengan memoles diri. Poles, poles, poles kemudian terkenal dan kaya raya. Weh, satu dalam semilyar mungkin yang gitu , Mas.

Dan ketika saya menjadi pusat perhatian, saya paham betul apa yang harus saya lakukan. Saya tetap konsentrasi dalam musik saya, dan tetap melakukan hal positif bagi diri saya. Dan mungkin kebetulan kegiatan saya juga dianggap positif oleh orang lain sehingga banyak yang terinspirasi untuk mengikutinya. Dan ocehan saya di media sosial juga merupakan upaya saya menebarkan pemikiran kritis dan semangat perjuangan. Mas sendiri yang bilang status saya dahsyat, kan? Setidaknya itu yang saya bisa selalu lakukan saat ini. Dan yang saya ucapkan di media sosial, saya usahakan bukan hanya omongan belaka. Tapi harus benar-benar saya lakukan pada kehidupan sehari-hari. Satya Wacana istilahnya, Mas :).

Oh ya, Mas. Mas pasti juga tidak mengotakkan bahwa musisi kerjaannya hanya main musik saja kan? Hehe. Saya menyimak tentang pernyataan Mas yang mengatakan, Karena saya orang Bali, dimana Bali terkenal dengan seninya, pasti saya bisa melukis. Pernyataan ini nampak kaku sekali, Mas. Kasian orang Bali yang tidak bisa melukis atau menari, nanti dia dicap bukan bukan orang Bali? Hehe. Abaikan saja poin ini mas. Iseng saja saya komentari. Mumpung sedang semangat menulis :). Tapi kalo mau disimak juga oke banget lho, mas. Hihihi.

Nah, dari baru beberapa poin saja Mas sudah keliru menilai saya. Tapi saya santai Mas. Keliru bisa diperbaiki. Saya ga mau buru-buru bilang Mas bebal. Hehe. Maka dari itu, Mas. Kapan-kapan mari ketemu sambil minum jus bareng. Oh ya, mengenai memoles diri, saya sempat sih nyobain facial di salon. Tapi ya karena tampang saya emang segini-segini aja (ada sih yang bilang ganteng, tapi ga banyak :)) jadi saya rasa facial sekali aja udah cukup, Mas. Hehe. Lagian dompet saya masih tifis buat yang gituan, Mas. Bayar listrik dan keperluan rumah aja udah syukurlah. Untuk pakaian di panggung, kebetulan saya mendapat support dari pengusaha baju lokal. Jadi aman deh dompetifis saya, Mas. Hehe. 

Mengenai merchandise, saya memang memproduksinya, Mas. Pake uang dari sisa hasil manggung. Saya tentu juga mempromosikannya. Sama dengan yang dilakukan Jrx dan juga band di seluruh dunia. Dan saya tidak melihat ada yang salah dengan itu. Saya bukan nyuri merchandise kemudian paksa orang untuk membelinya, kan? Hehe. Orang yang suka akan membeli, dan yang tidak suka biasanya tidak beli. Sesederhana itu lho, Mas. Kita tetap bersyukur sampe sekarang banyak yang beli. Jadi kami tetap bisa lanjut berkarya, kemudian karya kami dinikmati orang banyak. Huahh… nikmat :)

Nikmatnya mungkin mirip seperti dosen yang sembari membagi ilmu, juga mendapat bayaran atas jasanya itu. Tapi, Mas. Biaya pendidikan sekarang gila banget, ya? Kalo dapet beasiswa sih enak kali, ya? Walah, mangap-mangap. Saya ngelantur lagi. Saya pikir saya sedang bicara dengan dosen. Hehe.

Oh ya, Mas. Perlu Mas tau saya juga tidak sibuk dengan hal itu saja. Saya sempat melakukan banyak hal lain yang mungkin orang lain sedikit, bahkan tidak memilikinya. Itu bukan harta atau liburan mewah, Mas. Hal langka itu adalah waktu luang. Waktu untuk berinteraksi dengan orang banyak dalam jalur yang santai dan menyenangkan. Itu juga bagian pembelajaran lho, Mas. Orang intelek juga bukan baca buku doang, kan?

Bicara tentang meningkatkan intelektualitas. Kalau menurut pengertian Mas orang intelek itu adalah orang yang selalu membenamkan diri pada tumpukan buku, dan menghabiskan masa hidup untuk mengejar gelar pendidikan hingga ke negri seberang, mungkin itu bukan saya, Mas.Atau orang yang intelektualitasnya tinggi adalah orang yang bisa bicara dengan istilah-istilah ngeri dan susah dimengerti oleh orang umum, itu juga bukan saya. Hehe. Ilmu pengetahuan kan untuk mempermudah, Mas. Bukan bikin njelimet, mumet. Agar, Mas tau, saya juga baca buku kok. Novel, komik, sejarah, politik, majalah, dari femina sampai cosmopolitan, semua saya baca, Mas. Dan bukan cuman di tempat nongkrong saya yang Mas bilang itu saya bisa baca atau belajar. Belajar itu bukan hanya baca buku kan, Mas? 

Di manapun adalah tempat untuk mempelajari, dan apapun adalah pelajaran. Cuman saya baca buku enggak sampai bertumpuk-tumpuk. Bisa pusing saya nanti, Mas. Baca buku dan  mengejar ilmu hingga ke negri seberang memang penting. Tapi bagi saya, penting juga untuk belajar realitas kehidupan yang saya dapat dari interaksi sehari-hari, dan tidak terpaku pada teori ideal yang ditulis di buku. Toh yang menulis juga manusia, Mas. Dan kadang tidak bisa menerapkan idealisme di buku terhadap realitas yang sedang terjadi. Hehehe. Ada tuh Mas, temen saya. Udah belajar jauh-jauh, gelarnya mungkin ngejar S16, tapi belum bijaksana juga menyikapi hidup. Karena bijak kan enggak bisa didapat dari buku saja ya, Mas? Tapi didapat dari keberhasilan mempelajari kehidupan. Hehe.

Jadi intelektualitas seorang D2 pariwisata bisa saja lebih tinggi daripada seorang tamatan S3. Saya ga bilang bahwa diri saya bijak lho. Tapi setidaknya saya belajar untuk itu. Keliru dikit juga gapapa kan, Mas? Namanya juga proses belajar. 

Mas Dipanegara, sebuah ungkapan yang Anda katakan bahwa “di era media sosial saat ini, kebenaran sebuah pendapat ditentukan oleh berapa banyak ‘follower’ di twitter atau ‘like’ di facebook”. Kalo boleh saya tahu, Ungkapan ini dari siapa ya, Mas? Ada ahli yang mengungkapkan ini, atau ini ungkapan dari anda? Penasaran saya, Mas. Hehe.
 
Mas, tidakkah Mas rasa statement ini sungguh sangat arogan? Karena seolah-olah menilai manusia yang memberi tanda suka pada status seseorang adalah makhluk yang bodoh, manut bagaikan robot yang ikut-ikutan saja. Ini mirip statement kelompok pro reklamasi. Menganggap fans dari musisi itu adalah makhluk bodoh yang mau saja ketika disuru jilat pantat sang musisi. Uekkkk. 

Mas. Saya menggemari karya dari seorang musisi yang bernama Jack Johnson. Tapi saya tidak buta dalam menggemarinya. Jika seandainya dia gemar menebar ajakan membunuh orang, saya yakin saya tidak akan mengikutinya. Dan saya juga bukan robot peniru yang akan menjiplak semua yang dia lakukan dalam kehidupannya. Jack Johnson juga merupakan seorang penggerak dan pemimpin dalam gerakan lingkungan hidup. Dan saya mengikutinya dalam poin itu. Saya paham mana sejuk dan panas, Mas. Mungkin begitu pula dengan para followers saya. Sebagai contoh, jika suatu saat Jack Johnson mengajak saya untuk nyebur ke api, ya saya pasti ogah. Intinya bila ia melakukan kesalahan, saya pasti paham dia salah dan saya tidak akan mengikuti kesalahannya. Sama halnya dalam gerakan saya di ForBALI. Kami memiliki seorang ketua forum. Tapi jika ketua ini melakukan kesalahan, ya saya sebagai anggota bakalan serang juga si ketua ini. Walaupun kita dipimpin, bukan berarti kita dungu. Pemimpin nyebur ke api, kita ikutan nyebur. Itu baru ga beres namanya. Lahhh, saya kok jadi ngelantur lagi sampai ke Jack Johnson. Hehe. Maaf ya.

Begini, Mas. Saya menghargai semua followers saya baik di twitter maupun facebook. Dan saya yakin mereka tidak buta akan mana yang baik dan buruk. Mereka menyukai status saya mungkin karena mereka memiliki keyakinan bahwa status yang saya buat juga mewakili apa yang ingin mereka katakan. Ketika status saya dirasa ada yang salah, tidak sedikit juga yang menyerang dengan pemikiran mereka. Statement Mas itu juga khas sekali dengan gaya orba. Mencap anak muda makhluk bodoh yang tidak tau apa-apa. Lagian Mas kan mengikuti status-status saya, yang Mas sebut dahsyat itu? Saya berusaha menyebarkan tulisan kritis, jujur dan cerdas di media sosial, tentu dengan tujuan positif untuk mengedukasi, bukan memprovokasi, bukan juga untuk nyinyirisasi. hehe. 

Karena untuk melawan pengusaha dan penguasa rakus itu memang tidak bisa sendiri. Jadi diperlukan massa yang juga paham tentang apa yang diperjuangkan dan mengapa harus berjuang. 

Orang tidak akan like sembarang status, Mas. Mungkin followers saya cukup banyak. Tapi jika saya menulis “ayo kita makan tai ayam”, atau saya mengunggah foto seonggok kotoran dengan belatung dan lalat mengrubutinya, saya sangat yakin tidak akan memperoleh like. Saya juga follower Jrx di Facebook maupun twitter. Tapi seandainya dia mengunggah sesuatu yang tidak layak, jangankan like, melihat saja saya tak sudi. Tapi ketika ia mengunggah sesuatu yang baik, saya akan like bahkan sebarkan dengan senang hati.

Mas Dipanegara. Walaupun seandainya ada yang memberi like pada status yang nampak sangat tidak layak, mereka bukan berarti menyukai status itu, tapi bisa saja menganggapnya sebagai lelucon. Dan untuk menandai status itu agar mudah dicari, atau sekedar meninggalkan jejak, like bisa berfungsi sebagai penanda. Opsi lain dari memberi komentar. 

Oalah, Mas. Meskipun saya sebut statement Mas itu arogan, tetapi statement Mas itu mungkin juga bisa bermanfaat lho ternyata, Mas? Jika memang benar seperti itu, mungkin akan membantu bisnis para penjual followers yang tengah marak di media sosial, Mas. Hihi. Orang-orang akan beli followers yang banyak, kemudian dapat like (palsu) yang banyak, maka sah sudah status mereka adalah kebenaran mutlak? Aduh. Lucu ya, Mas. Hehe. Dan Mas, selain dari itu semua, saya sangat yakin kita tidak bisa menjadikan like sebagai acuan benar dan salah. Saya jadi teringat sebuah lukisan dari kawan, yaitu Warcd. Beliau menuliskan kata “There is No Truth. Only Interpretations” .Interpretasi seringkali salah.

Sekarang mengenai spektrum warna. Dalam tulisan saya, sungguh jelas saya melibatkan tiga  warna untuk mewakili realitas ketika berada dalam dua pilihan yang pasti. Yaitu yang memilih, yang tidak memilih, dan yang memilih untuk tidak memilih. Dan sudah saya jelaskan tadi Golput macam apa yang saya singgung. Untuk mewakili itu, hanya memerlukan tiga warna. Saya mengambil putih, hitam. Kemudian abu-abu sebagai penggambaran golput yang hanya menonton dan nyinyir.

Mengenai ada warna lain di dunia ini, saya juga sangat paham. Tapi sekali lagi dalam hal ini saya hanya memerlukan tiga warna untuk mewakilinya. Saya bisa saja mengganti pilihan warna untuk mewakilinya. Misalnya dengan warna primer merah, biru, kemudian ungu sebagai percampuran dari merah dan biru. Atau Kuning dengan biru, kemudian hijau berada di tengah-tengah sebagai percampuran antara kuning dan biru. Ungu atau hijau ini bisa menggantikan perumpamaan saya tentang abu-abu. Dan saya bisa mengganti monyet yang abu-abu menjadi anak ayam yang dicat ungu, atau mengganti monyet yang abu-abu menjadi kadal yang berwarna hijau. Dalam hal memilih dua calon ini sungguh tidak sama seperti memilih es krim dengan banyak warna, atau memilih warna baju yang tentu memiliki beragam warna. Sekali lagi, hanya tiga warna yang saya perlukan untuk menggambarkan pemilihan dua calon ini. 

Dan mas Dipanegara, Saya selalu berusaha memandang permasalahan dengan sederhana, jika itu yang mas maksud dengan simplisitis? Atau yang Mas maksud dengan simplisitis adalah memandang masalah dengan kebodohan? Waduh, sederhana kan bukan berarti bodoh, Mas. Dalam masalah ini memang tidak perlu ruetis, Mas. Hehe. Tidak semua masalah harus dibahas dengan gaya ruetis, kan? Menambahkan bahasa-bahasa dan komponen-komponen yang membuat pembicara nampak sakti. Ya, sakti bikin orang bingung. Hehe.

Yang paling bahaya, saking ruetnya bahasa dan teori-teori yang dimasukkan, bisa-bisa membuat inti perlawanan memudar. Semoga kritik dari Mas tidak mengaburkan inti masalah yang kita perangi ya. Yaitu memerangi kerakusan pemangku kuasa. Dan bagi saya, golput kemudian hanya nyinyir kepada penguasa bahkan juga nyinyir kepada yang melawan kuasa, itu buang-buang energi. Mirip seperti para penolak reklamasi yang dinyinyiri oleh kawan sendiri. Si nyinyir energinya habis hanya untuk nyinyir, lalu para penguasa dan pengusaha tetap melenggang. Apalagi kritiknya berdasarkan sentimen pribadi. Saya bukan bilang Mas, lho. Ada tuh temen saya yang gitu :).

Dan, Mas. Orang pintar itu, bisa bikin orang lain mengerti juga apa yang dibicarakannya. Menurut saya lho, Mas. Kalo pinter, kemudian ngerti dan bermanfaat cuman buat diri sendiri saja, ya mirip dengan onani, Mas. Hehe.

Dan Mas Dipanegara. Saya tentu saja menghargai semua perbedaan. Namun menghargai perbedaan bukan berarti tidak boleh mengkritik, kan? Kritik terhadap golput juga sah-sah saja, kan? Apalagi saya mengkritik yang sengaja golput dan sengaja nyinyir namun malas mengorganisir diri melawan kekuasaan. Dan nampaknya para nyinyir ini salah melihat saya. Dipikirnya saya memberhalakan Jokowi. Padahal jelas kritik saya untuk tidak memberhalakan pemimpin. Sebab tidak ada satu manusia yang dapat merubah segalanya. Perubahan itu bisa terjadi jika kita bersama-sama berpegangan tangan merapatkan barisan.

Gini, Mas. Saya coba jelasin dengan tidak terbata-bata, ya. Pemilu setelah runtuhnya orde baru, menyediakan pilihan calon yang memang benar-benar bersaing dan bergantung pada suara rakyat. Beda pada saat orde baru. Ketika Soeharto memimpin, pemilu hanya olok-olok belaka. Karena meskipun orang memilih atau tidak, sudah bisa dipastikan Soehartolah yang tetap menjadi presiden. Beruntunglah Orde Baru runtuh berkat reformasi. Nah, ketika dihadapkan pada pemilu saat ini, apalagi pilihannya antara Jokowi atau Prabowo? Saya jelas memilih Jokowi. Karena sejarah memberikan saya bayangan, kira-kira apa yang akan terjadi pada Negara ini jika Prabowo yang memimpin. Saya juga sadar betul bahwa di kedua kubu, baik Prabowo maupun Jokowi sama-sama diliputi oleh sekelompok manusia-manusia culas, yang Mas sebut dengan Oligarki itu lho. Namun di antara setan yang meliputi mereka, setidaknya saya melihat sedikit sinar, yaitu pada Jokowi. Mungkin ada pertimbangan sama antara saya dengan Jrx. Saya lebih memilih Jokowi sebagai presiden, kemudian memeranginya. Kalau Prabowo yang jadi presiden, mungkin baru bersuara saja kita sudah disikat. Setidaknya begitu sejarah memberi gambaran pada saya.

Dan sikap tidak memilih dua-duanya sangat berbahaya menurut saya pada pemilu yang bukan di orde baru lagi ini. Karena otomatis ketika tidak memilih, kita artinya mengamini siapapun yang naik menjadi presiden. Dan saya tidak ingin mengamini Prabowo naik menjadi presiden. Saya melawan dengan memilih. Pak Desmond Tutu pernah berkata begini. “If you are neutral in situations of injustice, you have chosen the side of the oppressor” Saya ga perlu terjemahin kan, Mas? Mas pasti juga jago berbahasa Inggris. Hehe. Maaf lho, Mas kalo saya sok tau tentang Mas. Saya cuma iseng meniru Mas yang juga sok tau tentang saya. Hihi. 

Mas, Dipanegara. Mas mengatakan tidak memilih karena tidak mau terjatuh dalam ilusi figur ke figur lain, dimana masyarakat hanya dibutuhkan ketika pemilu saja. Ini benar, Mas. Mengenai ilusi itu memang benar. Saya setuju teori Mas Dipanegara. Tapi, Mas. Semua itu memang akan selamanya menjadi ilusi apabila harapan yang kita punya tidak kita perjuangkan. Harapan tanpa upaya untuk membuatnya menjadi nyata memang adalah ilusi sampai kapanpun. Siapapun pemimpinnya, kita tidak bisa dalam posisi diam saja. Memilih merupakan bagian dari strategi perjuangan. Jika Jokowi brengsek, ya kita harus kritik dan lawan. Yang jelas sebagai rakyat kita jangan hanya diam saja dan membiarkan pemimpin berjuang sendiri. 

Sebagai bukti nyata. Perjuangan Menolak Reklamasi  yang saya juga terlibat di dalamnya, memiliki sikap jelas untuk menuntut Jokowi di tengah sikap diamnya ini. Yang jelas, sedari awal saya tidak berharap besar Jokowi sendiri akan mengubah semuanya. Ini tergantung kita sendiri. Mau atau tidak mengorganisir diri melawan si rakus.

Teori mas Dipanegara tentang golput untuk meniadakan Negara saya pandang tidak realistis pada masa sekarang ini. Untuk melawan Negara bukan berarti harus menjadi seorang anarko (seperti teori yang Mas sebut pada Jrx) yang anti Negara kan? Jujur saya masih memerlukan Negara, Mas. Saya perlu KTP, perlu passport, seandainya saya diundang untuk menyanyi keluar Indonesia. Saya juga ga mau blunder, Mas. Mengaku anti Negara, tapi tau-tau menerima beasiswa dari Negara untuk melanjutkan pendidikan, kemudian siapa tau mendapat kesempatan menjadi dosen di universitas negeri pula seperti UI atau UGM misalnya? Kan malu, Mas. Hehe. Itu sebagai bayangan aja mas. Sampai sekarang, saya sih belum pernah ditawari beasiswa sama Negara. 

Tapi, Mas. Intinya untuk melawan Negara, kita tidak harus anti kepada Negara, kan? Saya tidak suka menjadi anti agar terlihat ngeri, Mas. Yang saya percaya itu berpartisipasi memperbaiki Negara, bukan menebar kampanye anti Negara.

Sebenarnya selain dari Mas (atau Bli?) Dipanegara ini, tulisan saya juga mendapat respon dengan inti yang hampir sama dengan tulisan dari Mas Dipanegara, namun dengan rasa yang lebih sopan. Bisa disimak disini https://ragbrurag.wordpress.com/abu-abu-monyet-dan-golput/ Tulisan tersebut datang dari bapak Rai Astrawan. Awalnya saya pikir tulisan ini dari bapak Warcd, karena saya lihat tulisan ini pertama kali di halaman facebook beliau. Ini ceritanya lucu, Mas. Saya cerita dikit ya. Pada suatu acara, saya bertemu dengan Rai. Ketika bertemu itulah saya baru tahu bahwa Rai adalah pemilik blog dengan nama Ragbrurag ini, berdasarkan pengakuan langsung dari Rai. Ketika itu Rai pikir saya ada perasaan sakit hati terhadap tulisannya. Bli Rai salah besar. Saya santai saja. Malah senang ada yang merespon. Hahaha. 

Oh ya, hampir saja saya tulis bahwa itu tulisan dari bapak Warcd. Intinya, saya akhirnya bertemu langsung dengan Rai, walaupun ia menggunakan nama samaran. Dan tentu sudah tercipta dialog langsung yang menyenangkan. Ada kesamaan antara Ragbrurag dan Warcd. Mereka sama-sama menggunakan nama samaran. Mungkin ingin mengikuti jejak Tan Malaka yang kerap menggunakan nama samaran ketika berjuang. Atau mungkin seperti Ki Panji Kusmin? Yang hingga kini tidak diketahui identitas aslinya. Namun,  meskipun menggunakan nama samaran, tapi akhirnya saya tahu juga siapa di balik nama samaran tersebut. Jadi ketika merespon tulisan beliau, saya sudah yakin beliau bukan fiktif. 

Intinya, beliau menggunakan nama keren, namun identitas aslinya juga tidak disembunyikan. Ini masih lebih bagus daripada menggunakan topeng, alias kedok. Karena jika beliau berlindung di balik kedok, beliau akan susah direspon, karena menempatkan diri pada posisi ada dan juga tiada. 

Oh ya. Tulisan Anda pertama kali saya lihat dari postingan Bapak Warcd di facebooknya. Katanya beliau jalan-jalan, kemudian ketemu tulisan Mas Asnawigana Dipanegara ini. Mungkinkah Anda berdua saling mengenal? Hihi. 

Sempat saya iseng goggling nama Anda. Tapi yang keluar malah artikel tentang Asnawi Dipanegara. Yaitu Asli Cina Betawi Ganti Nama Dipaksa Negara. Ini istilah yang muncul pada tahun 1970-1980 ketika para etnis Tionghoa mengganti nama menjadi lebih melayu. Mungkin karena sentimen ras yang tinggi ketika itu di Indonesia. Apa nama Mas ada kaitannya dengan itu? Hehe. Anyway  iseng saya ternyata menambah ilmu juga. 

Lagian mas, gapapa kali kalo Mas ada sosial media tinggal langsung aja tag ke akun saya. Ini jujur aja kalo ga ada temen yang ngetag saya tentang tulisan Mas Dipanegara ini, saya ga bakalan tau lho kalo tulisan saya direspon? Bli Rai juga nampak malu-malu share langsung tulisannya ke saya. Atau mungkin kalian rasa sembunyi-sembunyi lebih romantis ya? Hihi. Gapapa. Santai saja. Saya paham :).

Nah, berhubung saya tidak dapat menemukan identitas dari Mas (atau Bli?) Dipanegara. Tidak juga tertera pada halaman wordpress Anda. Saya berusaha cari juga nama Mas di media sosial. Ketemu juga twitter Anda: @agdipanegara. Tapi nampaknya dibuat bersamaan dengan wordpress Anda. Baru berisi beberapa twit saja. Tapi dari twitter pun identitas Anda masih misteri bagi saya. Saya orangnya suka penasaran, Mas. Hehe.

Maksud saya begini. Jika tulisan Mas Dipanegara ini adalah kritik, maka ia harus jelas dari siapa kepada siapa. Nah, di sini, dalam blog saya ini, saya adalah Man Angga dengan identitas yang sebenar-benarnya. Asli 100 persen :). Tidak adil bila saya dikritik, namun yang mengkritik bersembunyi di balik topeng. Dan kritik dari manusia “bertopeng” bukanlah kritik, namun lebih tepat disebut sirik.  Tapi kalo Mas Dipanegara semoga tidak mengenakan “topeng” ya. Hehe.

Tulisan dari Mas (atau Bli?) Asnawigana Dipanegara ini berhasil membuat Man Angga yang asli ini terlihat “bodoh” di hadapan publik lewat tulisan Anda.Tapi saya tidak mau terpaku pada "malu" sebab kritik adalah sehat, tengkyu atas perhatiannya.  Tetapi sangat enggak adil kalau seandainya saya ingin mengkritik prilaku atau sikap politik Anda, kemudian ternyata secara tak sengaja kritik saya membuat Anda terlihat bodoh, tentu saja Anda aman karena Anda bisa bersembunyi. 

Semoga dugaan saya tidak benar. Semoga Mas (atau Bli?) Asnawigana Dipanegara ini bukanlah topeng atau kedok yang dipergunakan mengolok-olok Man Angga yang asli ini. Saya sudah cukup terluka dengan PT. TWBI yang bermain kedok. Padahal mau mereklamasi, tapi bilangnya revitalisasi. Ih sebelll :p

Orang memang suka pakai topeng karena tidak mau terlihat "bodoh" ketika doyan membuat orang lain terlihat "bodoh". Siapa tahu dibalik "Dipanegara" ini adalah sosok intelektual maut, atau barangkali dosen yang tak mau kelihatan dalil-dalil kritiknya rapuh terhadap saya. Kalau ketahuan mahasiswa, bisa malu, apalagi tau-tau mahasiswanya doyan Nosstress? tentu harga diri bakalan jebol, bol, bolll. Hehehe. 

Oh ya. Saya yang tamatan Diploma pariwisata ini cukup tersanjung lho direspon oleh Rai, seorang dengan aktivitas sosialnya yang tinggi. Bahkan dishare oleh bapak Warcd yang seorang dosen S2. Bayangkan jikalau Mas Dipanegara ini sebenarnya adalah dosen S3? Wuah, saya tersanjung benar :).

Semoga dugaan saya salah. Tapi kok saya merasa Asnawigana Dipanegara ini seperti seorang yang saya kenal ya? Anda tahu detil tentang tempat tongkrongan saya yang Anda sentil "tempat yang ada rak bukunya". Semoga dugaan saya salah. Kalau saya salah menduga, mohon dimaafin ya, karena yang namanya manusia bisa saja salah duga, kan?  Seperti Anda salah menduga saya. 

Sama halnya seperti Jokowi, dia juga manusia biasa yang tak selamanya lurus. Cuma dialog dalam tulisan ini gak sehat seandainya anda memakai "kedok". Saya hanya mengenal orang pakai "kedok" ketika menyerang penguasa. Pada zaman Belanda, pejuang-pejuang sekelas Soekarno dan Tan Malaka pernah pakai "kedok" dalam tulisan kritisnya agar penguasa lalim tak bisa menangkap mereka. Itu bisa diterima sebab ada relasi kuasa, antara rakyat yang ditindas melawan penindas. Tapi kalau Anda seandainya teman saya yang berkedok "Asnawigana Dipanegara" menyerang saya. Ini terasa aneh sebab saya tidak memiliki kekuasaan terhadap diri Anda. Saya bukan Negara apalagi Investor. Hihi. 

Lucu saja jika seorang teman pakai kedok untuk mengkrtitik teman. Ini namanya "getap", atau "pekel". Mas Adipanegara pasti paham dengan arti “getap”, atau “pekel”, kan? Meskipun Anda menulis bahwa Anda terbata-bata menerjemahkan tulisan saya yang berbahasa Bali “geruh”, tapi dugaan saya Anda paham betul dengan bahasa Bali. Atau Anda memang orang Bali?  Anda Nampak tidak terbata-bata menerjemahkan bahasa Bali saya yang “geruh” ini. Makanya saya bingung panggil Anda itu Mas atau Bli Adipanegara? Hehe.

Semoga saya salah duga, maaf ya, Mas. Saya santai, tapi terkadang juga orangnya sensitif seperti putri malu..hihihi 

Dan berkat kritik dari Mas Dipanegara dan Bli Rai Astrawan, saya bisa menghasilkan tulisan yang lumayan panjangggg ini. Mohon maaf jika menunggu agak lama. Maklum saya harus menunaikan tugas saya sebagai penyanyi untuk menghibur dengan lagu-lagu saya. Terimakasih banyak Mas Dipanegara dan Bli Rai Astrawan. Link postingan ini akan saya unggah di facebook saya. Mas dan Bli bisa membacanya dengan santai ataupun serius. Bisa dibaca bersama pacar tercinta, ataupun istri dan anak terkasih :).

Permintaan maaf juga saya layangkan kepada monyet yang saya libatkan dalam tulisan ini. Dan juga orang yang menjadi merasa disebut monyet yang abu-abu. Tapi monyet masih jauh lebih mulia dibandingkan para penguasa yang rakus itu, kan? Hehe. Maaf ya, nyet.

4 komentar:

  1. Minum air putih man... kenyel pasti nulis sebanyak itu...

    BalasHapus
  2. "Orang pintar itu, bisa bikin orang lain mengerti juga apa yang dibicarakannya. Kalo pinter, kemudian ngerti dan bermanfaat cuman buat diri sendiri saja, ya mirip dengan onani" GAGAH! kakakakakakaka

    BalasHapus
  3. Menarik Pak Man, angkat gelasnya brur....
    Begitu saya lihat link WP dipanegara, cumen 2 tulisan ya....? yang semua di upload March 23, 2015
    Penulifis Bertopeng :p

    BalasHapus
  4. Golput dan Perlawanan: Balasan untuk Man Angga
    https://agdipanegara.wordpress.com/2015/05/11/golput-dan-perlawanan-balasan-untuk-bli-man-angga/

    BalasHapus