Menjawab surat terbuka dari Mas Asnawigana Dipanegara, yang berjudul
“Satu Lagi Kebebalan Selebritis” (surat terbuka untuk Man Angga Nosstress) Bisa
dibaca disini https://agdipanegara.wordpress.com/
Mas Dipanegara. Sebelumnya saya sangat berterimakasih atas surat terbuka
berupa kritik yang Mas kirim, sebagai respon atas tulisan saya. Baru pertama
kali lho saya mendapatkan surat terbuka. Rasanya seru-seru gimana gitu. Saya
merasa diperhatikan dengan sangat serius. Selain itu, kritik ini dapat
memberikan contoh bagi semua orang terutama kawula muda untuk membangkitkan
budaya dialog yang kritis. Mengingat saat ini keterampilan dialog sering
digantikan dengan keterampilan menggunakan otot. Dan bagi saya pribadi, kritik
juga merupakan obat agar tidak hanyut pada puja-puji yang membuat terlena dan
terlupa. Terimakasih ya. *toss*
Saya juga akan mencoba dengan pelan namun tidak terbata-bata untuk
menjawab kritik dari Mas Dipanegara. Saya kagum dengan Mas yang mengaku terbata-bata
menerjemahkan bahasa Bali saya. Padahal bagi saya itu tidak nampak terbata-bata
samasekali, Mas. Meskipun Mas mungkin dari Yogyakarta, setidaknya begitu yang
tercantum pada wordpress Anda, tapi kemampuan Mas menerjemahkan bahasa Bali
saya sungguh mumpuni. Sungguh rendah hati sekali lo Mas Dipanegara ini :).
Namun, Mas Dipanegara. Sebelum saya menjawab kritik Mas kepada saya,
ijinkan saya mengkritik diri saya sendiri, atau lebih tepatnya mengkritik
tulisan saya yang Anda respon. (Bisa dibaca disini http://manangga3.blogspot.nl/2015/03/biarlah-yang-abu-abu-hanya-monyet.html) Ketika menulis, saya sangat bersemangat, terlalu
tergesa-gesa, hingga mungkin ada yang kurang dari tulisan saya, dan tidak
lengkap dalam menggambarkan isi hati saya. Golput yang saya kritik adalah:
orang yang sengaja golput, kemudian kerjaannya hanya nyinyir. Tidak berusaha
mengorganisir diri untuk melakukan suatu pergerakan, bahkan tidak mau menjadi
bagian dari sebuah pergerakan. Hanya menonton, dan berkomentar. Memilih golput
untuk tidak menerima risiko apa-apa.
Sama sekali tak ada bermaksud mengkritik masyarakat adat tak
ber-KTP atau terpencil karena dikucilkan penguasa. Yang
saya kritik adalah kelompok golput nyinyir yang malas beroganisasi bersama
rakyat untuk melawan kerakusan. Golput yang hobinya nyinyir
saja.
Nah, sekarang saya siap menjawab. Pertama ijinkan saya merespon mengenai
selebtifis. Hihi. Lucu ini, Mas. Bayangkan kalau seorang tester produk kosmetik
juga merangkap sebagai aktifis, dia akan Anda sebut seorang testifis? Mahasiswa
aktifis maka dia disebut mahatifis? Pengusaha aktifis maka dia disebut
pengutifis? Tukang tattoo sebagai aktifis maka disebut tattotifis? Hihi. Mas
Dipanegara, saya tidak keberatan disebut sebagai selebritis, atau aktifis, atau
yang mas sebut selebtifis. Tapi Ketika berbicara mengenai perjuangan
lingkungan, seperti yang saya lakukan dengan kawan-kawan di Bali untuk Menolak
reklamasi Teluk Benoa, saya bukanlah menempatkan diri sebagai selebritis,
ataupun aktifis. Saya adalah bagian dari masyarakat yang memang punya kewajiban
untuk membela lingkungan, terlebih itu adalah lingkungan tempat saya hidup.
Membela lingkungan itu terlepas dari profesi yang saya tekuni. Sama dengan yang
dilakukan kawan-kawan. Mereka berjuang bukan karena mereka mahasiswa, bukan
karena mereka pengusaha, bukan juga karena mereka aktifis. Tapi mereka memang adalah
penduduk yang mempunyai kewajiban membela tempat tinggal mereka.
Perjuangan membela lingkungan ini tidak bisa dikotak-kotakkan dalam
profesi, Mas. Mas sendiri yang bilang pikiran mengkotak-kotakkan itu adalah
pola pikir politisi, kan? Hehe. Jangan-jangan Mas yang siap mencalonkan diri
menjadi wakil rakyat dari partai golput? Hihi. Maaf, Mas. Bercanda lho ini,
jangan marah ya. Saya gemar bercanda :).
Curhat dikit ya, Mas. Saya sedikit gimana gitu kalo dengar orang dengan
cepat mencap seseorang yang memperjuangkan keadilan dengan label aktifis.
Berjuang untuk menegakkan keadilan itu bukanlah hanya tugas dan kewajiban
seorang aktifis, tapi tugas seluruh manusia kan, Mas? Menurut Masnya gimana? Artinya kalo dia bukan aktifis, dia bebas
enggak peduli sama keadilan terhadap manusia maupun lingkungan? Wah, pemikiran
yang ga boleh dibudayakan ini. Hehe. Mas juga seandainya adalah seorang dosen
atau seorang mahasiswa, atau profesi lain, bukan berarti tidak memiliki
kewajiban membela keadilan, kan? Hehe.
Lanjut. Sebenarnya ya, Mas, ketika Mas menulis surat terbuka pada saya
ini, dan melayangkannya kepada Man Angga Nosstress, itu juga agak gimana gitu,
Mas. Ya saya sih gapapa. Tapi kalo Nosstress itu bukan saya aja. Ada tiga
orang. Kalo saya ya Man Angga doang. Dan yang nulis juga saya sendiri aja, Mas.
Jadi kasian kalo si Nosstress juga disrempet. Kalo mas mengkritik Man Angga sebagai seorang
individu pemilik blog Manangga3.blogspot.com itu lebih tepat. Bukan seleb atau
tifis. Karena tulisan saya yang Mas kritik tidak ada sangkut pautnya dengan
profesi saya. Beda lagi kalo Mas mengkritik saya dalam karya saya sebagai Nosstress.
Atau seandainya saya bukan anggota Nosstress, dan bukan kawan dari Jrx, mungkin
Mas tidak akan mengritik tulisan saya kali ya? Hihi. Tapi mungkin kalo Mas
enggak sambung-sambung dan cari kaitannya kemana-mana gitu pasti jadi ga seru
ya, Mas? Seperti mengkritik Jrx dengan memulainya dari Ahmad Dhani kemudian
menghubungkannya dengan Vicky Prasetyo. Hihi. Ya terserah Mas sih. Saya hormati
hak dan pemikiran mas sebagai penulis.
Tapi saya ga mau ikut-ikutan bilang orang bebal ah. Kasian kan, padahal
cuman keliru dalam hal tertentu, langsung dicap sebagai orang bebal. Itu
seperti berusaha mencari satu keburukannya untuk kemudian mengaburkan banyak
kebaikan yang dia punya. Hehe. Saya ga bilang saya marah waktu Mas bilang saya
bebal lho. Saya santai, Mas. Temen-temen saya sering bilang saya macem-macem.
Saya santai aja, Mas. Hehe. Saya juga ga bilang bahwa saya punya beribu
kebaikan lho, Mas. Itu orang lain yang akan menilai. Yang jelas apa yang orang katakan
tentang kita kan bukanlah sebuah kebenaran mutlak kan, Mas? Mungkin benar, tapi
kemungkinan tidak benar juga sama tingginya. Jadi jangan percaya dulu sama media sosial, Mas. Coba deh Mas ketemu dulu sama saya, ngobrol-ngobrol gitu. Kan asik.
Atau kita udah pernah ketemu? Hihi. Mungkin belum ya. Tapi Mas kok tau betul
tongkrongan saya ya? Hahaha. Maaf-maaf. Saya ngelantur.
Lanjut lagi. Kali ini Mas Dipanegara mengomentari selebritis, merchandise,
promosi, memoles diri agar menjadi pusat
perhatian dan kemampuan intelektualitas. Mas Dipanegara. Semoga pemikiran Mas
tentang selebritis belum diracuni oleh acara gosip di televisi. Karena saya
merasa Mas ada sensitifitas tentang selebritis, apalagi selebritis yang juga
sebagai aktifis, atau hanya pada Jrx dan saya karena kami dalam sebuah panji perjuangan
yang sama? Ah maaf nih kalo salah, Mas. Saya suka cepet GR. Hihi.
Televisi memang sukses
menampilkan selebriti sebagai insan yang hidup dalam hingar bingar, sensasi,
dan bergelimang materi. Tapi coba Mas cari di buku tentang arti kata
selebritis. Atau cari di internet, juga ada KBBI kok sekarang. Pengertian selebritis
adalah orang yang terkenal atau masyhur. Disebut selebritis karena masyhur di
bidang seni. Atau bahasa kerennya adalah artis. Pelaku seni. Saya tidak
menampik bahwa saya terkadang menjadi pusat perhatian dalam kesempatan
tertentu. Tapi tidak selalu, Mas. Hanya terkadang ada banyak orang yang
mengenali saya. Namun, Mas Dipanegara, perhatian itu tidak saya peroleh karena
saya gemar bersolek atau yang Mas sebut dengan memoles diri. Saya bersyukur
memperoleh perhatian ini dengan karya saya di bidang musik, Mas. Dan itu juga
tidak mudah. Banyak hal yang harus saya lalui dan banyak hal juga yang harus
saya korbankan untuk meraihnya. Itu juga berkat bantuan banyak kawan. Dan itu
tidak semudah seperti yang Mas sebut dengan memoles diri. Poles, poles, poles
kemudian terkenal dan kaya raya. Weh, satu dalam semilyar mungkin yang gitu ,
Mas.
Dan ketika saya menjadi pusat perhatian, saya paham betul apa yang harus
saya lakukan. Saya tetap konsentrasi dalam musik saya, dan tetap melakukan hal
positif bagi diri saya. Dan mungkin kebetulan kegiatan saya juga dianggap
positif oleh orang lain sehingga banyak yang terinspirasi untuk mengikutinya.
Dan ocehan saya di media sosial juga merupakan upaya saya menebarkan pemikiran
kritis dan semangat perjuangan. Mas sendiri yang bilang status saya dahsyat,
kan? Setidaknya itu yang saya bisa selalu lakukan saat ini. Dan yang saya
ucapkan di media sosial, saya usahakan bukan hanya omongan belaka. Tapi harus
benar-benar saya lakukan pada kehidupan sehari-hari. Satya Wacana istilahnya, Mas :).
Oh ya, Mas. Mas pasti juga tidak mengotakkan bahwa musisi kerjaannya
hanya main musik saja kan? Hehe. Saya menyimak tentang pernyataan Mas yang
mengatakan, Karena saya orang Bali, dimana Bali terkenal dengan seninya, pasti
saya bisa melukis. Pernyataan ini nampak kaku sekali, Mas. Kasian orang Bali
yang tidak bisa melukis atau menari, nanti dia dicap bukan bukan orang Bali?
Hehe. Abaikan saja poin ini mas. Iseng saja saya komentari. Mumpung sedang
semangat menulis :). Tapi kalo mau
disimak juga oke banget lho, mas. Hihihi.
Nah, dari baru beberapa poin saja Mas sudah keliru menilai saya. Tapi
saya santai Mas. Keliru bisa diperbaiki. Saya ga mau buru-buru bilang Mas
bebal. Hehe. Maka dari itu, Mas. Kapan-kapan mari ketemu sambil minum jus
bareng. Oh ya, mengenai memoles diri, saya sempat sih nyobain facial di salon.
Tapi ya karena tampang saya emang segini-segini aja (ada sih yang bilang
ganteng, tapi ga banyak :)) jadi saya rasa
facial sekali aja udah cukup, Mas. Hehe. Lagian dompet saya masih tifis buat
yang gituan, Mas. Bayar listrik dan keperluan rumah aja udah syukurlah. Untuk
pakaian di panggung, kebetulan saya mendapat support dari pengusaha baju lokal.
Jadi aman deh dompetifis saya, Mas. Hehe.
Mengenai merchandise, saya memang memproduksinya, Mas. Pake uang dari
sisa hasil manggung. Saya tentu juga mempromosikannya. Sama dengan yang
dilakukan Jrx dan juga band di seluruh dunia. Dan saya tidak melihat ada yang
salah dengan itu. Saya bukan nyuri merchandise kemudian paksa orang untuk
membelinya, kan? Hehe. Orang yang suka akan membeli, dan yang tidak suka
biasanya tidak beli. Sesederhana itu lho, Mas. Kita tetap bersyukur sampe
sekarang banyak yang beli. Jadi kami tetap bisa lanjut berkarya, kemudian karya
kami dinikmati orang banyak. Huahh… nikmat :).
Nikmatnya mungkin mirip seperti dosen yang sembari membagi ilmu, juga
mendapat bayaran atas jasanya itu. Tapi, Mas. Biaya pendidikan sekarang gila
banget, ya? Kalo dapet beasiswa sih enak kali, ya? Walah, mangap-mangap. Saya
ngelantur lagi. Saya pikir saya sedang bicara dengan dosen. Hehe.
Oh ya, Mas. Perlu Mas tau saya juga tidak sibuk dengan hal itu saja.
Saya sempat melakukan banyak hal lain yang mungkin orang lain sedikit, bahkan
tidak memilikinya. Itu bukan harta atau liburan mewah, Mas. Hal langka itu
adalah waktu luang. Waktu untuk berinteraksi dengan orang banyak dalam jalur
yang santai dan menyenangkan. Itu juga bagian pembelajaran lho, Mas. Orang
intelek juga bukan baca buku doang, kan?
Bicara tentang meningkatkan intelektualitas. Kalau menurut pengertian Mas
orang intelek itu adalah orang yang selalu membenamkan diri pada tumpukan buku,
dan menghabiskan masa hidup untuk mengejar gelar pendidikan hingga ke negri seberang,
mungkin itu bukan saya, Mas.Atau orang yang intelektualitasnya tinggi adalah
orang yang bisa bicara dengan istilah-istilah ngeri dan susah dimengerti oleh
orang umum, itu juga bukan saya. Hehe. Ilmu pengetahuan kan untuk mempermudah,
Mas. Bukan bikin njelimet, mumet. Agar, Mas tau, saya juga baca buku kok.
Novel, komik, sejarah, politik, majalah, dari femina sampai cosmopolitan, semua
saya baca, Mas. Dan bukan cuman di tempat nongkrong saya yang Mas bilang itu
saya bisa baca atau belajar. Belajar itu bukan hanya baca buku kan, Mas?
Di manapun adalah tempat untuk mempelajari, dan apapun adalah pelajaran.
Cuman saya baca buku enggak sampai bertumpuk-tumpuk. Bisa pusing saya nanti, Mas.
Baca buku dan mengejar ilmu hingga ke
negri seberang memang penting. Tapi bagi saya, penting juga untuk belajar
realitas kehidupan yang saya dapat dari interaksi sehari-hari, dan tidak
terpaku pada teori ideal yang ditulis di buku. Toh yang menulis juga manusia, Mas.
Dan kadang tidak bisa menerapkan idealisme di buku terhadap realitas yang sedang
terjadi. Hehehe. Ada tuh Mas, temen saya. Udah belajar jauh-jauh, gelarnya
mungkin ngejar S16, tapi belum bijaksana juga menyikapi hidup. Karena bijak kan
enggak bisa didapat dari buku saja ya, Mas? Tapi didapat dari keberhasilan
mempelajari kehidupan. Hehe.
Jadi intelektualitas seorang D2 pariwisata bisa
saja lebih tinggi daripada seorang tamatan S3. Saya ga bilang bahwa diri saya
bijak lho. Tapi setidaknya saya belajar untuk itu. Keliru dikit juga gapapa kan,
Mas? Namanya juga proses belajar.
Mas Dipanegara, sebuah ungkapan yang Anda katakan bahwa “di era media
sosial saat ini, kebenaran sebuah pendapat ditentukan oleh berapa banyak
‘follower’
di twitter
atau ‘like’
di facebook”. Kalo boleh saya tahu, Ungkapan ini dari siapa ya,
Mas? Ada ahli yang mengungkapkan ini, atau ini ungkapan dari anda? Penasaran saya,
Mas. Hehe.
Mas, tidakkah Mas rasa statement ini sungguh sangat arogan? Karena
seolah-olah menilai manusia yang memberi tanda suka pada status seseorang
adalah makhluk yang bodoh, manut bagaikan robot yang ikut-ikutan saja. Ini
mirip statement kelompok pro reklamasi. Menganggap fans dari musisi itu adalah
makhluk bodoh yang mau saja ketika disuru jilat pantat sang musisi. Uekkkk.
Mas. Saya menggemari karya dari seorang musisi yang bernama Jack
Johnson. Tapi saya tidak buta dalam menggemarinya. Jika seandainya dia gemar
menebar ajakan membunuh orang, saya yakin saya tidak akan mengikutinya. Dan
saya juga bukan robot peniru yang akan menjiplak semua yang dia lakukan dalam
kehidupannya. Jack Johnson juga merupakan seorang penggerak dan pemimpin dalam
gerakan lingkungan hidup. Dan saya mengikutinya dalam poin itu. Saya paham mana
sejuk dan panas, Mas. Mungkin begitu pula dengan para followers saya. Sebagai
contoh, jika suatu saat Jack Johnson mengajak saya untuk nyebur ke api, ya saya
pasti ogah. Intinya bila ia melakukan kesalahan, saya pasti paham dia salah dan
saya tidak akan mengikuti kesalahannya. Sama halnya dalam gerakan saya di
ForBALI. Kami memiliki seorang ketua forum. Tapi jika ketua ini melakukan
kesalahan, ya saya sebagai anggota bakalan serang juga si ketua ini. Walaupun
kita dipimpin, bukan berarti kita dungu. Pemimpin nyebur ke api, kita ikutan
nyebur. Itu baru ga beres namanya. Lahhh, saya kok jadi ngelantur lagi sampai
ke Jack Johnson. Hehe. Maaf ya.
Begini, Mas. Saya menghargai semua followers saya baik di twitter maupun
facebook. Dan saya yakin mereka tidak buta akan mana yang baik dan buruk.
Mereka menyukai status saya mungkin karena mereka memiliki keyakinan bahwa status
yang saya buat juga mewakili apa yang ingin mereka katakan. Ketika status saya
dirasa ada yang salah, tidak sedikit juga yang menyerang dengan pemikiran
mereka. Statement Mas itu juga khas sekali dengan gaya orba. Mencap anak muda
makhluk bodoh yang tidak tau apa-apa. Lagian Mas kan mengikuti status-status saya,
yang Mas sebut dahsyat itu? Saya berusaha menyebarkan tulisan kritis, jujur dan
cerdas di media sosial, tentu dengan tujuan positif untuk mengedukasi, bukan
memprovokasi, bukan juga untuk nyinyirisasi. hehe.
Karena untuk melawan pengusaha dan penguasa rakus itu memang tidak bisa
sendiri. Jadi diperlukan massa yang juga paham tentang apa yang diperjuangkan
dan mengapa harus berjuang.
Orang tidak akan like sembarang status, Mas. Mungkin followers saya cukup
banyak. Tapi jika saya menulis “ayo kita makan tai ayam”, atau saya mengunggah
foto seonggok kotoran dengan belatung dan lalat mengrubutinya, saya sangat
yakin tidak akan memperoleh like. Saya juga follower Jrx di Facebook maupun
twitter. Tapi seandainya dia mengunggah sesuatu yang tidak layak, jangankan
like, melihat saja saya tak sudi. Tapi ketika ia mengunggah sesuatu yang baik,
saya akan like bahkan sebarkan dengan senang hati.
Mas Dipanegara. Walaupun seandainya ada yang memberi like pada status
yang nampak sangat tidak layak, mereka bukan berarti menyukai status itu, tapi
bisa saja menganggapnya sebagai lelucon. Dan untuk menandai status itu agar
mudah dicari, atau sekedar meninggalkan jejak, like bisa berfungsi sebagai
penanda. Opsi lain dari memberi komentar.
Oalah, Mas. Meskipun saya sebut statement Mas itu arogan, tetapi statement
Mas itu mungkin juga bisa bermanfaat lho ternyata, Mas? Jika memang benar
seperti itu, mungkin akan membantu bisnis para penjual followers yang tengah
marak di media sosial, Mas. Hihi. Orang-orang akan beli followers yang banyak,
kemudian dapat like (palsu) yang banyak, maka sah sudah status mereka adalah kebenaran
mutlak? Aduh. Lucu ya, Mas. Hehe. Dan Mas, selain dari itu semua, saya sangat
yakin kita tidak bisa menjadikan like sebagai acuan benar dan salah. Saya jadi
teringat sebuah lukisan dari kawan, yaitu Warcd. Beliau menuliskan kata “There
is No Truth. Only Interpretations” .Interpretasi seringkali salah.
Sekarang mengenai spektrum warna. Dalam tulisan saya, sungguh jelas saya
melibatkan tiga warna untuk mewakili
realitas ketika berada dalam dua pilihan yang pasti. Yaitu yang memilih, yang
tidak memilih, dan yang memilih untuk tidak memilih. Dan sudah saya jelaskan
tadi Golput macam apa yang saya singgung. Untuk mewakili itu, hanya memerlukan
tiga warna. Saya mengambil putih, hitam. Kemudian abu-abu sebagai penggambaran
golput yang hanya menonton dan nyinyir.
Mengenai ada warna lain di dunia ini, saya juga sangat paham. Tapi
sekali lagi dalam hal ini saya hanya memerlukan tiga warna untuk mewakilinya.
Saya bisa saja mengganti pilihan warna untuk mewakilinya. Misalnya dengan warna
primer merah, biru, kemudian ungu sebagai percampuran dari merah dan biru. Atau
Kuning dengan biru, kemudian hijau berada di tengah-tengah sebagai percampuran
antara kuning dan biru. Ungu atau hijau ini bisa menggantikan perumpamaan saya
tentang abu-abu. Dan saya bisa mengganti monyet yang abu-abu menjadi anak ayam
yang dicat ungu, atau mengganti monyet yang abu-abu menjadi kadal yang berwarna
hijau. Dalam hal memilih dua calon ini sungguh tidak sama seperti memilih es
krim dengan banyak warna, atau memilih warna baju yang tentu memiliki beragam
warna. Sekali lagi, hanya tiga warna yang saya perlukan untuk menggambarkan
pemilihan dua calon ini.
Dan mas Dipanegara, Saya selalu berusaha memandang permasalahan dengan
sederhana, jika itu yang mas maksud dengan simplisitis? Atau yang Mas maksud
dengan simplisitis adalah memandang masalah dengan kebodohan? Waduh, sederhana
kan bukan berarti bodoh, Mas. Dalam masalah ini memang tidak perlu ruetis, Mas.
Hehe. Tidak semua masalah harus dibahas dengan gaya ruetis, kan? Menambahkan
bahasa-bahasa dan komponen-komponen yang membuat pembicara nampak sakti. Ya,
sakti bikin orang bingung. Hehe.
Yang paling bahaya, saking ruetnya bahasa dan teori-teori yang dimasukkan,
bisa-bisa membuat inti perlawanan memudar. Semoga kritik dari Mas tidak
mengaburkan inti masalah yang kita perangi ya. Yaitu memerangi kerakusan pemangku kuasa. Dan bagi saya, golput kemudian hanya nyinyir kepada penguasa bahkan juga
nyinyir kepada yang melawan kuasa, itu buang-buang energi. Mirip seperti para
penolak reklamasi yang dinyinyiri oleh kawan sendiri. Si nyinyir energinya
habis hanya untuk nyinyir, lalu para penguasa dan pengusaha tetap melenggang. Apalagi
kritiknya berdasarkan sentimen pribadi. Saya bukan bilang Mas, lho. Ada tuh
temen saya yang gitu :).
Dan, Mas. Orang pintar itu, bisa bikin orang lain mengerti juga apa yang
dibicarakannya. Menurut saya lho, Mas. Kalo pinter, kemudian ngerti dan
bermanfaat cuman buat diri sendiri saja, ya mirip dengan onani, Mas. Hehe.
Dan Mas Dipanegara. Saya tentu saja menghargai semua perbedaan. Namun
menghargai perbedaan bukan berarti tidak boleh mengkritik, kan? Kritik terhadap
golput juga sah-sah saja, kan? Apalagi saya mengkritik yang sengaja golput dan
sengaja nyinyir namun malas mengorganisir diri melawan kekuasaan. Dan nampaknya
para nyinyir ini salah melihat saya. Dipikirnya saya memberhalakan Jokowi.
Padahal jelas kritik saya untuk tidak memberhalakan pemimpin. Sebab tidak ada
satu manusia yang dapat merubah segalanya. Perubahan itu bisa terjadi jika kita
bersama-sama berpegangan tangan merapatkan barisan.
Gini, Mas. Saya coba jelasin dengan tidak terbata-bata, ya. Pemilu
setelah runtuhnya orde baru, menyediakan pilihan calon yang memang benar-benar
bersaing dan bergantung pada suara rakyat. Beda pada saat orde baru. Ketika
Soeharto memimpin, pemilu hanya olok-olok belaka. Karena meskipun orang memilih
atau tidak, sudah bisa dipastikan Soehartolah yang tetap menjadi presiden.
Beruntunglah Orde Baru runtuh berkat reformasi. Nah, ketika dihadapkan pada
pemilu saat ini, apalagi pilihannya antara Jokowi atau Prabowo? Saya jelas memilih
Jokowi. Karena sejarah memberikan saya bayangan, kira-kira apa yang akan
terjadi pada Negara ini jika Prabowo yang memimpin. Saya juga sadar betul bahwa
di kedua kubu, baik Prabowo maupun Jokowi sama-sama diliputi oleh sekelompok manusia-manusia
culas, yang Mas sebut dengan Oligarki itu lho. Namun di antara setan yang
meliputi mereka, setidaknya saya melihat sedikit sinar, yaitu pada Jokowi. Mungkin
ada pertimbangan sama antara saya dengan Jrx. Saya lebih memilih Jokowi sebagai
presiden, kemudian memeranginya. Kalau Prabowo yang jadi presiden, mungkin baru
bersuara saja kita sudah disikat. Setidaknya begitu sejarah memberi gambaran
pada saya.
Dan sikap tidak memilih dua-duanya sangat berbahaya menurut saya pada
pemilu yang bukan di orde baru lagi ini. Karena otomatis ketika tidak memilih,
kita artinya mengamini siapapun yang naik menjadi presiden. Dan saya tidak
ingin mengamini Prabowo naik menjadi presiden. Saya melawan dengan memilih. Pak
Desmond Tutu pernah berkata begini. “If
you are neutral in situations of injustice, you have chosen the side of the
oppressor” Saya ga perlu terjemahin kan, Mas? Mas pasti juga jago berbahasa
Inggris. Hehe. Maaf lho, Mas kalo saya sok tau tentang Mas. Saya cuma iseng
meniru Mas yang juga sok tau tentang saya. Hihi.
Mas, Dipanegara. Mas mengatakan tidak memilih karena tidak mau terjatuh
dalam ilusi figur ke figur lain, dimana masyarakat hanya dibutuhkan ketika
pemilu saja. Ini benar, Mas. Mengenai ilusi itu memang benar. Saya setuju teori
Mas Dipanegara. Tapi, Mas. Semua itu memang akan selamanya menjadi ilusi
apabila harapan yang kita punya tidak kita perjuangkan. Harapan tanpa upaya
untuk membuatnya menjadi nyata memang adalah ilusi sampai kapanpun. Siapapun
pemimpinnya, kita tidak bisa dalam posisi diam saja. Memilih merupakan bagian
dari strategi perjuangan. Jika Jokowi brengsek, ya kita harus kritik dan lawan.
Yang jelas sebagai rakyat kita jangan hanya diam saja dan membiarkan pemimpin
berjuang sendiri.
Sebagai bukti nyata. Perjuangan Menolak Reklamasi yang saya juga terlibat di dalamnya, memiliki
sikap jelas untuk menuntut Jokowi di tengah sikap diamnya ini. Yang jelas,
sedari awal saya tidak berharap besar Jokowi sendiri akan mengubah semuanya. Ini
tergantung kita sendiri. Mau atau tidak mengorganisir diri melawan si rakus.
Teori mas Dipanegara tentang golput untuk meniadakan Negara saya pandang
tidak realistis pada masa sekarang ini. Untuk melawan Negara bukan berarti
harus menjadi seorang anarko (seperti teori yang Mas sebut pada Jrx) yang anti
Negara kan? Jujur saya masih memerlukan Negara, Mas. Saya perlu KTP, perlu
passport, seandainya saya diundang untuk menyanyi keluar Indonesia. Saya juga
ga mau blunder, Mas. Mengaku anti Negara, tapi tau-tau menerima beasiswa dari
Negara untuk melanjutkan pendidikan, kemudian siapa tau mendapat kesempatan
menjadi dosen di universitas negeri pula seperti UI atau UGM misalnya? Kan
malu, Mas. Hehe. Itu sebagai bayangan aja mas. Sampai sekarang, saya sih belum pernah
ditawari beasiswa sama Negara.
Tapi, Mas. Intinya untuk melawan Negara, kita tidak harus anti kepada
Negara, kan? Saya tidak suka menjadi anti agar terlihat ngeri, Mas. Yang saya
percaya itu berpartisipasi memperbaiki Negara, bukan menebar kampanye anti
Negara.
Sebenarnya selain dari Mas (atau Bli?) Dipanegara ini, tulisan saya juga
mendapat respon dengan inti yang hampir sama dengan tulisan dari Mas Dipanegara,
namun dengan rasa yang lebih sopan. Bisa disimak disini https://ragbrurag.wordpress.com/abu-abu-monyet-dan-golput/ Tulisan tersebut datang dari bapak Rai Astrawan. Awalnya
saya pikir tulisan ini dari bapak Warcd, karena saya lihat tulisan ini pertama
kali di halaman facebook beliau. Ini ceritanya lucu, Mas. Saya cerita dikit ya.
Pada suatu acara, saya bertemu dengan Rai. Ketika bertemu itulah saya baru tahu
bahwa Rai adalah pemilik blog dengan nama Ragbrurag ini, berdasarkan pengakuan
langsung dari Rai. Ketika itu Rai pikir saya ada perasaan sakit hati terhadap
tulisannya. Bli Rai salah besar. Saya santai saja. Malah senang ada yang
merespon. Hahaha.
Oh ya, hampir saja saya tulis bahwa itu tulisan dari bapak
Warcd. Intinya, saya akhirnya bertemu langsung dengan Rai, walaupun ia
menggunakan nama samaran. Dan tentu sudah tercipta dialog langsung yang
menyenangkan. Ada kesamaan antara Ragbrurag dan Warcd. Mereka sama-sama
menggunakan nama samaran. Mungkin ingin mengikuti jejak Tan Malaka yang kerap
menggunakan nama samaran ketika berjuang. Atau mungkin seperti Ki Panji Kusmin?
Yang hingga kini tidak diketahui identitas aslinya. Namun, meskipun menggunakan nama samaran, tapi
akhirnya saya tahu juga siapa di balik nama samaran tersebut. Jadi ketika
merespon tulisan beliau, saya sudah yakin beliau bukan fiktif.
Intinya, beliau menggunakan nama keren, namun identitas aslinya juga
tidak disembunyikan. Ini masih lebih bagus daripada menggunakan topeng, alias
kedok. Karena jika beliau berlindung di balik kedok, beliau akan susah
direspon, karena menempatkan diri pada posisi ada dan juga tiada.
Oh ya. Tulisan Anda pertama kali saya lihat dari postingan Bapak Warcd
di facebooknya. Katanya beliau jalan-jalan, kemudian ketemu tulisan Mas Asnawigana
Dipanegara ini. Mungkinkah Anda berdua saling mengenal? Hihi.
Sempat saya iseng goggling nama Anda. Tapi yang keluar malah artikel
tentang Asnawi Dipanegara. Yaitu Asli
Cina Betawi Ganti Nama Dipaksa Negara. Ini istilah yang muncul pada tahun 1970-1980 ketika para etnis
Tionghoa mengganti nama menjadi lebih melayu. Mungkin karena sentimen ras yang
tinggi ketika itu di Indonesia. Apa nama Mas ada kaitannya dengan itu? Hehe.
Anyway iseng saya ternyata menambah ilmu
juga.
Lagian mas, gapapa kali kalo Mas ada sosial media tinggal langsung aja
tag ke akun saya. Ini jujur aja kalo ga ada temen yang ngetag saya tentang
tulisan Mas Dipanegara ini, saya ga bakalan tau lho kalo tulisan saya direspon?
Bli Rai juga nampak malu-malu share langsung tulisannya ke saya. Atau mungkin kalian
rasa sembunyi-sembunyi lebih romantis ya? Hihi. Gapapa. Santai saja. Saya paham :).
Nah, berhubung saya tidak dapat menemukan identitas dari Mas (atau Bli?)
Dipanegara. Tidak juga tertera pada halaman wordpress Anda. Saya berusaha cari
juga nama Mas di media sosial. Ketemu juga twitter Anda: @agdipanegara. Tapi
nampaknya dibuat bersamaan dengan wordpress Anda. Baru berisi beberapa twit
saja. Tapi dari twitter pun identitas Anda masih misteri bagi saya. Saya
orangnya suka penasaran, Mas. Hehe.
Maksud saya begini. Jika tulisan Mas Dipanegara ini adalah kritik, maka
ia harus jelas dari siapa kepada siapa. Nah, di sini, dalam blog saya ini, saya
adalah Man Angga dengan identitas yang sebenar-benarnya. Asli 100 persen :). Tidak adil bila saya dikritik, namun yang mengkritik
bersembunyi di balik topeng. Dan kritik dari manusia “bertopeng” bukanlah
kritik, namun lebih tepat disebut sirik.
Tapi kalo Mas Dipanegara semoga tidak mengenakan “topeng” ya. Hehe.
Tulisan dari Mas (atau Bli?) Asnawigana Dipanegara ini berhasil membuat
Man Angga yang asli ini terlihat “bodoh” di hadapan publik lewat tulisan Anda.Tapi
saya tidak mau terpaku pada "malu" sebab kritik adalah sehat, tengkyu
atas perhatiannya. Tetapi sangat enggak
adil kalau seandainya saya ingin mengkritik prilaku atau sikap politik Anda, kemudian
ternyata secara tak sengaja kritik saya membuat Anda terlihat bodoh, tentu saja
Anda aman karena Anda bisa bersembunyi.
Semoga dugaan saya tidak benar. Semoga Mas (atau Bli?) Asnawigana
Dipanegara ini bukanlah topeng atau kedok yang dipergunakan mengolok-olok Man Angga
yang asli ini. Saya sudah cukup terluka dengan PT. TWBI yang bermain kedok.
Padahal mau mereklamasi, tapi bilangnya revitalisasi. Ih sebelll :p
Orang memang suka pakai topeng karena tidak mau terlihat
"bodoh" ketika doyan membuat orang lain terlihat "bodoh". Siapa tahu dibalik
"Dipanegara" ini adalah sosok
intelektual maut, atau barangkali dosen yang tak mau kelihatan dalil-dalil
kritiknya rapuh terhadap saya. Kalau ketahuan
mahasiswa, bisa malu, apalagi tau-tau mahasiswanya doyan Nosstress? tentu
harga diri bakalan jebol, bol, bolll. Hehehe.
Oh ya.
Saya yang tamatan Diploma pariwisata ini cukup tersanjung lho direspon oleh Rai,
seorang dengan aktivitas sosialnya yang tinggi. Bahkan dishare oleh bapak Warcd
yang seorang dosen S2. Bayangkan jikalau Mas Dipanegara ini sebenarnya adalah
dosen S3? Wuah, saya tersanjung benar :).
Semoga
dugaan saya salah. Tapi kok saya merasa Asnawigana Dipanegara ini seperti
seorang yang saya kenal ya? Anda tahu detil tentang tempat
tongkrongan saya yang Anda
sentil "tempat yang ada rak bukunya". Semoga dugaan saya salah. Kalau saya salah menduga, mohon
dimaafin ya, karena yang namanya manusia bisa saja salah duga, kan? Seperti Anda
salah menduga saya.
Sama
halnya seperti Jokowi, dia juga manusia biasa yang
tak selamanya lurus. Cuma dialog dalam tulisan ini gak sehat seandainya anda memakai
"kedok". Saya hanya mengenal orang pakai "kedok" ketika
menyerang penguasa. Pada zaman
Belanda, pejuang-pejuang sekelas
Soekarno dan Tan Malaka pernah pakai "kedok" dalam tulisan kritisnya
agar penguasa lalim tak bisa menangkap mereka. Itu
bisa diterima sebab ada relasi kuasa, antara rakyat yang ditindas melawan
penindas. Tapi kalau Anda seandainya teman saya yang berkedok "Asnawigana Dipanegara"
menyerang saya. Ini terasa aneh sebab saya tidak
memiliki kekuasaan terhadap diri Anda. Saya bukan Negara apalagi Investor. Hihi.
Lucu saja jika seorang teman pakai kedok untuk mengkrtitik teman. Ini namanya "getap", atau
"pekel". Mas
Adipanegara pasti paham dengan arti “getap”, atau “pekel”, kan? Meskipun Anda
menulis bahwa Anda terbata-bata menerjemahkan tulisan saya yang berbahasa Bali
“geruh”, tapi dugaan saya Anda paham betul dengan bahasa Bali. Atau Anda memang
orang Bali? Anda Nampak tidak
terbata-bata menerjemahkan bahasa Bali saya yang “geruh” ini. Makanya saya
bingung panggil Anda itu Mas atau Bli Adipanegara? Hehe.
Semoga saya salah duga, maaf ya, Mas. Saya santai, tapi terkadang juga orangnya
sensitif seperti putri malu..hihihi
Dan berkat
kritik dari Mas Dipanegara dan Bli Rai Astrawan, saya bisa menghasilkan tulisan
yang lumayan panjangggg ini. Mohon maaf jika menunggu agak lama. Maklum saya
harus menunaikan tugas saya sebagai penyanyi untuk menghibur dengan lagu-lagu
saya. Terimakasih banyak Mas Dipanegara dan Bli Rai Astrawan. Link postingan ini
akan saya unggah di facebook saya. Mas dan Bli bisa membacanya dengan santai
ataupun serius. Bisa dibaca bersama pacar tercinta, ataupun istri dan anak
terkasih :).
Permintaan
maaf juga saya layangkan kepada monyet yang saya libatkan dalam tulisan ini.
Dan juga orang yang menjadi merasa disebut monyet yang abu-abu. Tapi monyet
masih jauh lebih mulia dibandingkan para penguasa yang rakus itu, kan? Hehe.
Maaf ya, nyet.
Minum air putih man... kenyel pasti nulis sebanyak itu...
BalasHapus"Orang pintar itu, bisa bikin orang lain mengerti juga apa yang dibicarakannya. Kalo pinter, kemudian ngerti dan bermanfaat cuman buat diri sendiri saja, ya mirip dengan onani" GAGAH! kakakakakakaka
BalasHapusMenarik Pak Man, angkat gelasnya brur....
BalasHapusBegitu saya lihat link WP dipanegara, cumen 2 tulisan ya....? yang semua di upload March 23, 2015
Penulifis Bertopeng :p
Golput dan Perlawanan: Balasan untuk Man Angga
BalasHapushttps://agdipanegara.wordpress.com/2015/05/11/golput-dan-perlawanan-balasan-untuk-bli-man-angga/